๐Ÿง  5 Kesalahan Logika Umum dalam Menilai Kebijakan Sekolah

๐Ÿง  5 Kesalahan Logika Umum dalam Menilai Kebijakan Sekolah

Dalam diskusi antar wali murid, sering muncul pendapat yang didasarkan pada pengalaman pribadi. Meskipun niatnya baik, tidak semua argumen berdasar logika yang valid. Beberapa bahkan tanpa sadar mengandung kesalahan berpikir (logical fallacies) yang bisa menyesatkan arah kebijakan.

Berikut adalah lima kesalahan logika yang umum terjadi saat menilai kebijakan sekolah:

1. Hasty Generalization

“Anak saya kerjakan saja buku paketnya di rumah dan berhasil. Berarti aturan sekolah salah.”

Ini adalah bentuk generalisasi terburu-buru, yaitu mengambil satu atau dua contoh sukses lalu mengklaim bahwa metode itu paling benar untuk semua siswa.

Padahal: Pendidikan tidak hanya melayani anak dari keluarga yang ideal. Ia harus dirancang untuk anak-anak dari berbagai latar, termasuk yang tidak mendapat bimbingan di rumah.

2. Anecdotal Fallacy

“Saya dan istri dokter, anak-anak kami juga berhasil. Berarti cara kami tepat.”

Mengandalkan kisah pribadi sebagai dasar penolakan kebijakan umum. Ini disebut anekdotal fallacy—menolak sistem yang dirancang berdasarkan riset dan prinsip pedagogis hanya karena merasa pengalaman pribadi lebih valid.

Padahal: Satu keluarga sukses bukan bukti bahwa semua keluarga harus meniru cara yang sama.

3. False Cause (Post hoc)

“Karena anak saya rajin mengisi buku di rumah, dia diterima di universitas ternama.”

Ini kesalahan sebab-akibat. Hanya karena dua hal terjadi berurutan, bukan berarti yang pertama adalah penyebab langsung yang kedua.

Padahal: Banyak faktor lain seperti sistem belajar di kelas, bakat anak, kedisiplinan, atau dukungan guru yang lebih besar pengaruhnya daripada sekadar mengisi buku.

4. Appeal to Emotion

“Kalau buku tidak dibawa pulang, saya tidak bisa ajarkan anak saya!”

Ini bentuk seruan emosional. Menjadikan keterbatasan pribadi sebagai alasan membatalkan kebijakan kolektif.

Padahal: Sekolah tidak melarang anak belajar di rumah—yang diatur adalah agar buku paket tetap menjadi alat belajar bersama yang dipandu guru, bukan lembar tugas massal.

5. Confirmation Bias

“Lihat, anak saya bisa karena caranya seperti ini!”

Ini bias konfirmasi: hanya mencari data yang mendukung keyakinan pribadi, lalu mengabaikan fakta atau prinsip lain yang justru mendukung kebijakan sekolah.

Padahal: Kebijakan sekolah berdasarkan prinsip keadilan, bukan sekadar kenyamanan individu.

✍️ Penutup

Keberhasilan pribadi patut disyukuri, tetapi tidak boleh menjadi standar untuk semua. Pendidikan bukan lomba siapa paling cepat isi buku, tapi proses bersama memahami dunia dengan bimbingan yang adil.

Mari jaga akal sehat dan diskusi sehat, agar sekolah tetap menjadi ruang yang mendidik semua, bukan hanya yang sudah kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Pelatihan Servis Laptop – Praktis dan Siap Kerja

Lowongan Kerja di Mataram IT – Penjaga Bengkel & Kurir

๐Ÿ“ข Lowongan Kerja: Asisten Teknisi Laptop – Mataram IT