Anak Jupen: Deep Learning Sebelum Ada Komputer
Anak Jupen: Deep Learning Sebelum Ada Komputer
Saya lahir dari seorang ibu yang pernah menjadi Juru Penerangan — profesi yang, jauh sebelum komputer mengenal deep learning, sudah mempraktikkan versi manusianya.
Beliau tidak sekadar memberi tahu. Ibu menyusun informasi seperti layer di jaringan saraf:
- Lapisan pertama: kata-kata sederhana yang membuat saya merasa aman dan mau mendengar.
- Lapisan kedua: logika yang disisipkan pelan-pelan di balik cerita.
- Lapisan ketiga: nilai hidup yang ditanam, bukan dihafalkan, tapi dialami lewat contoh sehari-hari.
Seperti training di AI, setiap kali saya keliru, ada feedback — tidak selalu berupa teguran, kadang hanya senyum tipis yang membuat saya berpikir ulang. Setiap epoch dalam hidup saya, beliau menambah variasi: cerita sejarah, pepatah daerah, atau kabar dunia. Semuanya membentuk bobot di kepala dan hati saya.
Saya kini mengerti bahwa warisan terbesar ibu bukanlah fakta-fakta yang beliau hafal, tapi kerangka berpikir adaptif yang membolehkan saya menafsirkan dunia dengan kedalaman, bukan sekadar kecepatan.
Ibu saya idealis. Bagi beliau, informasi adalah amanah. Dan mungkin karena itulah saya tumbuh memandang komunikasi bukan sekadar urusan bicara, tapi membangun jembatan antara pengetahuan dan nurani.
Hari ini, ketika teknologi deep learning jadi kata kunci masa depan, saya tersenyum. Bagi saya, konsep itu bukan hal baru. Saya sudah mengalaminya sejak kecil — di meja makan rumah kami, dari seorang jupen yang cerdas, tegas, dan percaya bahwa kata-kata bisa mengubah arah hidup seseorang.
Komentar
Posting Komentar