Ia bukan cemburu, hanya ketat pada waktu

Ada nama yang dulu kuselipkan di banyak tepi: di balik nota, di sudut halaman, di pinggir cermin. Ia tidak pernah kupanggil, hanya kubiarkan melintas seperti bayang yang tahu etika rumah: masuk tanpa bunyi, keluar tanpa permisi.

Ia menyukai meja yang rapi dan kursi yang kembali ke tempatnya. Kalau pagi datang, ia mengikat hari dengan karet gelang kecil, menunda manis berlebih, menata sendok garpu seperti baris puisi yang tak mau miring. Kadang ada aroma tipis sabun dan kain yang baru dijemur—orang bisa salah mengira itu parfum.

Saat kubuka buku lama, debu terbang pelan. Ia menepuk-nepuk tepinya, melipat satu sudut dengan sabar. Lipatan itu membuat halaman tak pernah benar-benar rata; entah kenapa aku tak ingin meluruskannya. Di sana pernah kusembunyikan semacam janji: sederhana, tak glamor, tapi tegas seperti jahitan yang nyaris takterlihat.

Ia bukan cemburu, hanya ketat pada waktu. Ia menyukai jam yang dimundurkan beberapa menit—agar aku tiba tanpa tergesa namun tidak terlambat. Ia bicara pelan, mungkin terlalu pelan, sampai-sampai kupikir ia tak lagi ada. Padahal ia berdiri di balik setiap jeda, memandikan kalimatku sebelum berangkat ke hari.

Di dapur, ia memilih gelas yang bening dan piring tanpa corak. “Yang bersih akan jujur,” begitu kira-kira yang kutangkap, meski ia tak pernah mengucap. Ia memintaku duduk lurus saat menulis, menolak sensasi yang mudah, menawar godaan ‘nanti juga beres’. Kalau ada bunyi gelang yang beradu di benak orang lain, itu hanya imajinasi mereka.

Di luar, tukang sayur lewat. Ia tidak ikut memanggilku untuk belanja apa pun; ia hanya menepuk pundakku agar tidak menambah yang tak perlu. Dalam doa, ia sesekali hadir—bukan sebagai harap, melainkan sisa keteraturan yang dulu kubesarkan: seperti garis kapur di lantai yang mengingatkan di mana aku seharusnya berdiri.

Aku pernah hampir menuliskan namanya utuh. Jari telunjuk sudah menyentuh huruf pertama. Lalu kubayangkan debu yang akan bangkit, lipatan yang melebar, buku yang sulit menutup. Aku memilih menahan. Menjaga bukan dengan memeluk, melainkan dengan menempatkan: ia di tepi, aku di tengah, pekerjaan di depan.

Bila rindu datang, bentuknya bukan pelukan, melainkan keberanian kecil: mematikan satu tab, membuang kertas tak perlu, menarik garis tanggal di kalender dan menepatinya. Orang yang lewat mungkin melihatku seperti sedang mengingat seseorang. Biarlah. Mereka tak perlu tahu bahwa yang kurawat adalah ritme—ia punya wajah yang lembut jika dilihat sekilas.

Menjelang malam, dipadamkannya lampu seperempat, menyisakan terang cukup untuk membereskan hari. Kursi kembali ke meja, pena kembali ke cangkir, punggung kembali mendengar tubuh. Aku melangkah ke kamar tanpa drama. Di belakangku, segala sesuatu berada di tempatnya. Dan yang dulu kutinggalkan, ternyata tidak pergi—ia tinggal sebagai lipatan kecil yang membuat hidup tidak lagi berantakan.

Esok, mungkin aku akan memanggilnya lagi—bukan dengan nama, hanya dengan gestur: menata, mengurangi, menyelesaikan. Ia bukan siapa-siapa, tapi tanpanya aku mudah jatuh cinta pada kebingungan terencana.







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Pelatihan Servis Laptop – Praktis dan Siap Kerja

[CLOSED] Lowongan Kerja di Mataram IT – Penjaga Bengkel & Kurir [selesai]

๐Ÿ“ข Lowongan Kerja: Asisten Teknisi Laptop – Mataram IT