Jenazah yang Difoto, Nurani yang Mati
Jenazah yang Difoto, Nurani yang Mati: Analisis Kebodohan Digital yang Berulang
Fenomena membagikan foto jenazah dalam kondisi memprihatinkan di media sosial—khususnya Facebook—bukan sekadar kekeliruan teknis. Ia adalah potret dari masalah yang lebih dalam: krisis literasi digital, krisis empati, dan krisis akhlak publik.
1. Normalisasi Kekerasan Visual
Di dunia maya, penderitaan manusia semakin sering dijadikan tontonan. Foto jenazah disebar dengan alasan “biar jadi pelajaran” atau “supaya orang ikut mendoakan”. Tetapi efek psikologisnya justru menormalisasi kekerasan visual. Orang terbiasa melihat tubuh yang tak berdaya sebagai konten, bukan sebagai manusia yang layak dihormati.
2. Benturan Antara Adat, Agama, dan Praktik Digital
Dalam hampir semua tradisi dan agama, jenazah dijaga kehormatannya. Auratnya ditutup, wajahnya diselimuti doa. Tetapi begitu masuk ruang digital, aturan itu seolah hilang. Manusia merasa bebas mengabadikan dan menyebarkan, padahal tindakan itu justru bertentangan dengan nilai yang mereka sendiri yakini.
3. Ekonomi “Like” dan Validasi
Mengapa fenomena ini terus berulang? Karena ada “insentif” yang tak kasat mata: perhatian. Setiap unggahan yang mengundang komentar dan simpati dianggap sebagai keberhasilan sosial. Validasi digital itu membuat orang rela mengorbankan etika, bahkan di atas tubuh yang seharusnya dijaga martabatnya.
4. AI Bisa Mengerti, Mengapa Manusia Tidak?
Ironi terbesar adalah: kecerdasan buatan yang dingin bisa memetakan perilaku ini sebagai salah—berdasarkan etika, norma, dan hukum. Lalu bagaimana dengan manusia yang punya hati nurani? Apakah empati kalah oleh algoritma likes? Jika AI saja bisa “paham” garis moral, apakah manusia justru mundur dalam kecerdasan batin?
5. Jalan Keluar: Literasi Etika Digital
Solusi tidak cukup dengan aturan hukum semata. Yang lebih mendesak adalah membangun literasi etika digital: membiasakan generasi untuk bertanya sebelum berbagi, menimbang akibat sebelum mengunggah, dan mendahulukan martabat almarhum daripada kepuasan pribadi.
Kesimpulan:
Setiap kali sebuah foto jenazah disebar, sebenarnya bukan hanya wajah yang terbuka, tetapi nurani sosial kita yang telanjang. Facebook mungkin akan terus menjadi panggung bagi kebodohan berulang, kecuali kita berani menghentikannya dengan disiplin etika.
Komentar
Posting Komentar