Kekerasan di Sekolah: Saatnya Rekayasa Ruang Aman, Bukan Sekadar Spanduk
Kekerasan di sekolah tidak akan berhenti hanya dengan spanduk larangan atau khutbah moral. Poster bertuliskan “Stop Bullying” bisa dipajang di setiap dinding, pidato tentang akhlak bisa disampaikan tiap apel, tapi realitas di lapangan tetap sama: kasus pemalakan, perundungan, dan kekerasan psikologis terus berulang. Mengapa? Karena sistem pengawasan sering hanya formalitas, bukan mekanisme yang benar-benar melindungi siswa.
Yang dibutuhkan adalah rekayasa ruang aman. Sekolah dan pondok harus dirancang bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk mencegah kekerasan sejak awal. Transparansi harus jadi budaya: jalur pelaporan yang terbuka, dokumentasi yang jelas, dan akses informasi yang bisa dipercaya orang tua. Teknologi bisa membantu—CCTV di titik strategis, sistem pengawasan berbasis IT, bahkan aplikasi aduan rahasia yang terhubung langsung ke pengelola. Semua itu membuat pelaku berpikir ulang, karena tahu setiap tindakannya bisa terekam.
Namun teknologi hanyalah alat. Yang lebih penting adalah manajemen dan sumber daya manusia. CCTV tidak ada gunanya kalau hanya jadi pajangan, rekaman tidak pernah dicek, atau laporan siswa diabaikan. Karena itu, kuncinya ada pada rekrutmen: sekolah butuh tim pengawas yang benar-benar kompeten, bukan sekadar guru piket yang kelelahan atau staf yang asal ditunjuk. Dibutuhkan tenaga profesional yang terlatih menangani konflik, memahami psikologi remaja, dan berintegritas menjaga kerahasiaan korban.
Transparansi dan pengawasan berbasis IT adalah langkah awal, tapi yang menentukan adalah keseriusan dalam menjalankan sistem itu. Selama sekolah hanya puas dengan spanduk, khutbah moral, atau rapat seremonial, maka kekerasan akan terus berulang dalam siklus yang sama. Saatnya kita berhenti menutup mata: perlindungan anak bukan urusan slogan, melainkan tanggung jawab nyata yang membutuhkan desain sistem, teknologi, dan manusia yang tepat.
Komentar
Posting Komentar