Renungan Pendidikan: Di Manakah K3 Sejak Dini?


Renungan Pendidikan: Di Manakah K3 Sejak Dini?

Keselamatan itu bukan teori kelas tinggi. Ia bukan sekadar rumus dalam buku atau sertifikat di dinding ruang rapat. Ia adalah napas sehari-hari, kebiasaan kecil, budaya yang ditanamkan sejak anak pertama kali belajar berjalan di trotoar, menyebrang di zebra cross, atau duduk di kursi kendaraan.

Namun hari ini kita justru dihadapkan pada ironi: anak-anak sekolah yang sedang outing class—sebuah kegiatan yang mestinya menanamkan nilai edukatif dan kebersamaan—malah diangkut dengan odong-odong. Murah? Mungkin. Seru? Bisa jadi. Tetapi apakah itu aman? Jelas tidak. Apakah itu sesuai aturan pemerintah? Sama sekali tidak.

Pertanyaannya sederhana: di manakah pendidikan K3 sejak dini, saat anak justru diajak “belajar risiko” di atas odong-odong?

K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sering kita pahami sebatas di pabrik besar, tambang, atau proyek konstruksi. Padahal, nilai dasarnya adalah kesadaran: setiap aktivitas manusia mengandung risiko, dan setiap risiko membutuhkan mitigasi. Jika anak-anak dari kecil terbiasa melihat orang dewasa mengabaikan standar keselamatan, mereka akan belajar bahwa keselamatan hanyalah formalitas, bukan tanggung jawab.

Coba bayangkan narasi tak terucap yang ditanamkan:

  • “Tak apa melanggar aturan, asal murah dan meriah.”

  • “Nyawa bisa dinegosiasikan, asal anak tertawa.”

  • “Jika ada celaka, kita bisa lempar kesalahan ke pihak lain.”

Bukankah ini pelajaran yang berbahaya untuk masa depan?

Sekolah semestinya menjadi ekosistem pembelajaran yang konsisten: tidak hanya mengajarkan matematika atau IPA, tetapi juga logika hidup. Anak perlu memahami bahwa standar ada bukan untuk dipersulitkan, melainkan untuk melindungi. Bahwa aturan bukan sekadar garis kaku, melainkan pagar yang menyelamatkan.

Renungan ini bukan sekadar soal odong-odong. Ia tentang mindset manajemen pendidikan yang lebih suka praktis daripada profesional, lebih bangga dengan poster “berprestasi” daripada memastikan setiap anak pulang dengan selamat. Kita sedang mendidik generasi yang cerdas di atas kertas, tetapi rapuh dalam menghadapi realitas risiko.

Bayangkan jika dari sejak dini, K3 menjadi bagian dari kurikulum tersembunyi (hidden curriculum). Anak-anak bukan hanya tahu cara menyalakan lampu lalu lintas di buku, tapi benar-benar diajak memahami pentingnya sabuk pengaman, jalur evakuasi, hingga memilih transportasi sesuai standar. Itu akan jauh lebih bermakna daripada sekadar menambahkan jam pelajaran ekstra.

Maka, renungan ini berujung pada tantangan bagi kita semua: guru, orang tua, dan pengelola sekolah. Apakah kita berani berkata tidak pada praktik murah-meriah yang menukar keselamatan dengan sensasi? Apakah kita sanggup menjadikan K3 sebagai etika hidup, bukan sekadar jargon di dunia kerja?

Keselamatan memang tidak terlihat glamor di brosur sekolah. Tidak ada spanduk besar bertuliskan “Kami memastikan anak Anda pulang dengan selamat setiap hari.” Tapi justru itulah ukuran keberhasilan yang paling hakiki.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal siapa yang juara kelas, siapa yang hafal rumus tercepat, atau siapa yang mendapat sertifikat terbanyak. Pendidikan sejati adalah ketika anak-anak tumbuh dalam budaya yang menempatkan keselamatan manusia di atas segala bentuk kepentingan praktis.

Dan sebelum semuanya terlambat, mari kita ulangi pertanyaan sederhana ini:
Di manakah pendidikan K3 sejak dini?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Pelatihan Servis Laptop – Praktis dan Siap Kerja

[CLOSED] Lowongan Kerja di Mataram IT – Penjaga Bengkel & Kurir [selesai]

๐Ÿ“ข Lowongan Kerja: Asisten Teknisi Laptop – Mataram IT