Secara Filsafat Pendidikan: Guru Menjual Buku kepada Anak SD

Ketika Guru Menjadi Pedagang Buku di Kelas SD

Tinjauan reflektif—tajam namun empatik—dari sudut pandang filsafat pendidikan.

“Pendidikan adalah jalan memerdekakan manusia. Begitu kelas berubah menjadi kios, anak-anak tak lagi diajak berpikir—mereka diajak bertransaksi.”

TL;DR: Secara filsafat pendidikan, memajang dan menawarkan buku jualan kepada anak SD—apalagi meminta mereka “menawarkan ke orang tua”—tidak dapat dibenarkan. Itu mengubah relasi guru–murid dari moral menjadi transaksional, memanfaatkan kerentanan imitasi anak, dan merusak martabat profesi.
1 • Martabat Pendidik

Guru: Pemandu Akal, Bukan Penggerak Pasar

Dalam horizon Ki Hajar Dewantara, ing ngarso sung tulodo: di depan memberi teladan. Dalam ruh Freirean, pendidikan menumbuhkan kesadaran kritis, bukan kepatuhan belanja. Saat buku dipajang sebagai komoditas, makna “mencintai bacaan” merosot menjadi “membeli bacaan”. Guru kehilangan otoritas moral karena menyatukan nasihat belajar dengan kepentingan dagang.

Anak tidak sedang belajar “apa itu buku”, melainkan “berapa harganya” dan “apakah aku akan dipandang kurang jika tidak membelinya”.
2 • Etika

Memperlakukan Murid sebagai Tujuan, Bukan Alat

Etika Kantian tegas: manusia harus diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya, bukan sarana. Anak SD berada pada fase imitasi kuat dan butuh pengakuan sosial. Menyuruh mereka membawa selebaran harga atau “menawarkan ke orang tua” adalah memanfaatkan ketergantungan psikologis demi target penjualan.

Masalah inti: ada paksaan simbolik. Koersinya tak selalu verbal; cukup dengan pajangan, narasi “ini penting”, dan pengumuman di kelas—tekanan sosial pun bekerja.
Dampak: anak yang tak membeli merasa rendah diri; yang membeli belajar bahwa “ilmu = transaksi”. Keduanya sama-sama rugi.
3 • Sosial-Psikologis

Tekanan Ikut-ikutan dan Retak Kepercayaan

  • Tekanan sebaya: “teman beli—aku juga harus beli.” Identitas akademik diganti identitas konsumtif.
  • Relasi rusak: guru bergeser dari figur teladan ke figur transaksi; amanah kepercayaan tergadai.
  • Orang tua sebagai target: keluarga dihadapkan pada situasi “setuju—anak tidak tersisih; menolak—anak merasa bersalah”.
4 • Penilaian

Apakah Dibenarkan Secara Filsafat Pendidikan?

Tidak. Mempromosikan literasi boleh; memaksa atau menggiring pembelian tidak. Buku dapat direkomendasikan, dibahas, dipinjamkan, atau dihadirkan melalui perpustakaan—tetapi kelas bukan saluran distribusi dagang. Mengikat rekomendasi pada kewajiban membeli mengerdilkan makna belajar dan menginstrumentalisasi murid.

5 • Jalan Tengah yang Bermartabat

Alternatif Praktis Tanpa Menggadaikan Peran

  • Kurasi, bukan jualan: buat daftar bacaan dan alasan pedagogisnya; tak ada kewajiban beli.
  • Perpustakaan hidup: program pinjam-bawa dengan jadwal rotasi; anak belajar merawat buku bersama.
  • Transparansi buku paket resmi: bila ada kebijakan sekolah, harga & opsi penerbit harus terbuka; transaksi dikelola institusi—bukan individu guru.
  • Ekosistem berbagi: bank buku sumbangan/alih-kepemilikan; senior mewariskan bacaan pada junior.
  • Rezeki di luar kelas: guru menulis buku, membuka kelas tambahan, atau usaha terpisah dari ruang didik. Martabat tetap, integritas terjaga.
6 • Penutup

Menjaga Cahaya, Menolak Kios

Pendidikan adalah urusan memerdekakan akal—bukan menggerakkan pasar kecil di benak anak. Begitu kelas menjadi etalase, filosofi belajar retak: ilmu direduksi menjadi barang, guru menjadi agen, murid menjadi pelanggan. Kita bisa lebih baik dari itu.

“Tanamlah pohon ilmu di halaman jiwa mereka; jangan dirikan kios di sana.”
Naskah reflektif ini dirancang untuk publikasi (blog/web sekolah/media sosial). Silakan gunakan kembali dengan atribusi yang wajar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Pelatihan Servis Laptop – Praktis dan Siap Kerja

[CLOSED] Lowongan Kerja di Mataram IT – Penjaga Bengkel & Kurir [selesai]

๐Ÿ“ข Lowongan Kerja: Asisten Teknisi Laptop – Mataram IT