KPR dan Ilusi Kepemilikan


KPR dan Ilusi Kepemilikan

Kredit Pemilikan Rumah sering dipresentasikan sebagai pintu masuk menuju stabilitas hidup. Sebuah rumah, selembar sertifikat, dan janji masa depan yang tertata. Namun di balik narasi itu, terdapat kekeliruan konseptual yang jarang dibongkar secara jujur.

Dalam KPR, kepemilikan tidak hadir sejak awal. Ia ditangguhkan. Rumah ditempati, tetapi belum dimiliki. Sertifikat ada, tetapi terikat. Yang benar benar dimiliki hanyalah kewajiban jangka panjang, cicilan bulanan yang menuntut kepastian pendapatan selama puluhan tahun. Ini bukan kepemilikan. Ini kontrak ketergantungan.

Ilusi muncul karena bahasa. Kata rumah langsung diasosiasikan dengan aman. Padahal secara struktural, posisi debitur lebih dekat pada penyewa dengan risiko tinggi. Terlambat membayar, rumah tidak lagi aman. Berubah fungsi dari tempat berlindung menjadi sumber kecemasan. Atap yang sama bisa menjadi pengingat kegagalan ekonomi.

Masalah utama bukan pada skema kredit itu sendiri, melainkan pada cara masyarakat memaknainya. KPR diperlakukan sebagai pencapaian sosial, bukan keputusan finansial. Banyak orang menandatangani perjanjian bukan karena kesiapan, tetapi karena tekanan narasi. Usia tertentu harus punya rumah. Status tertentu harus terlihat mapan. Rasionalitas dikalahkan oleh simbol.

Secara ekonomi, KPR mengikat masa depan pada asumsi stabilitas. Asumsi bahwa pekerjaan akan aman. Asumsi bahwa kesehatan tidak runtuh. Asumsi bahwa krisis tidak datang. Padahal sejarah ekonomi justru dibangun dari runtuhnya asumsi. Sistem kredit memindahkan risiko sistemik ke individu, lalu menyebutnya tanggung jawab pribadi.

Ada ironi yang sunyi. Seseorang bekerja keras demi rumah, lalu kehilangan kelenturan hidup. Pilihan kerja menyempit karena cicilan. Keberanian berpindah kota terpangkas. Eksperimen hidup dikorbankan demi angka tetap setiap bulan. Rumah yang seharusnya menjadi basis kebebasan justru menjadi jangkar yang menahan gerak.

Kritik ini bukan ajakan menolak KPR secara mutlak. Ia ajakan untuk jujur pada realitas. Jika KPR dipilih, pahami bahwa yang dibeli bukan rumah, melainkan waktu. Puluhan tahun energi produktif ditukar dengan ilusi stabilitas. Tidak salah, tetapi mahal.

Kepemilikan sejati tidak diukur dari dinding dan genteng, melainkan dari ruang bernapas dalam mengambil keputusan. Rumah yang benar benar dimiliki adalah yang tidak memaksa pemiliknya hidup dalam ketakutan akan satu tanggal di kalender.

Di titik itu, pertanyaannya bukan lagi kapan punya rumah, melainkan apa harga kebebasan yang bersedia dibayar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Program Pelatihan Servis Laptop – Praktis dan Siap Kerja

๐Ÿ“ข Lowongan Kerja: Asisten Teknisi Laptop – Mataram IT

[CLOSED] Lowongan Kerja di Mataram IT – Penjaga Bengkel & Kurir [selesai]