Merencanakan Kematian (Bagian I)
Merencanakan Kematian (Bagian I): Yang Diam-diam Sudah Kita Lakukan
Tidak ada manusia yang secara terbuka merencanakan kematian. Itu terdengar tidak bermoral, tidak pantas diucapkan keras-keras. Maka kita menyamarkannya. Kita menyebutnya antisipasi, persiapan, jaga-jaga. Padahal substansinya sama: penataan hidup pascakehilangan.
Namun yang jarang diakui: bersamaan dengan itu, kita juga merencanakan diri tanpa orang-orang tertentu. Kita membayangkan rutinitas yang berubah, peran yang bergeser, keputusan yang dulu mustahil karena “dia masih ada”.
Di sinilah kebohongan halus bekerja. Kita mengira perencanaan itu bentuk cinta. Padahal sebagian besarnya adalah upaya mengurangi ketergantungan emosional. Kita tidak sedang menjaga orang lain agar aman bila kita mati. Kita sedang menyiapkan diri agar tetap berfungsi bila mereka yang mati.
Masyarakat mengajarkan bahwa cinta sejati tidak memikirkan pengganti. Itu mitos yang indah, tapi tidak operasional. Sistem kehidupan tidak berjalan dengan sumpah. Ia berjalan dengan kontinuitas. Dan kontinuitas selalu menuntut skenario cadangan.
Maka manusia yang rasional—diam-diam—selalu memiliki plan B.
Bukan karena ia tidak setia, tetapi karena ia tahu hidup tidak berhenti hanya karena satu orang berhenti bernapas.
Ironisnya, semakin dewasa seseorang, semakin rapi rencana kematiannya.
Bukan rencana mati, tetapi rencana setelah mati terjadi.
Anak kecil menangis tanpa arah.
Orang dewasa mengatur ulang kalender.
Di titik ini, kematian kehilangan aura mistisnya. Ia menjadi variabel risiko. Sesuatu yang tidak bisa diprediksi waktunya, tetapi bisa diperkirakan dampaknya. Dan manusia modern—yang memuja efisiensi—tidak pernah membiarkan dampak tanpa mitigasi.
Kita merencanakan kematian bukan karena putus asa,
melainkan karena kita tidak ingin hidup runtuh hanya karena satu simpul terlepas.
Dan ini yang jarang diucapkan:
cinta yang terlalu mutlak adalah bahaya struktural.
Ia membuat satu kematian cukup untuk melumpuhkan seluruh sistem.
Maka, dengan atau tanpa sadar, manusia belajar mencintai sambil menyisakan jarak. Bukan jarak dingin, tetapi jarak fungsional. Cukup dekat untuk bermakna, cukup jauh untuk bertahan.
Itulah awal dari seri ini.
Bukan tentang kematian sebagai akhir,
melainkan tentang bagaimana manusia secara diam-diam sudah hidup seolah kematian itu pasti terjadi—tinggal menunggu giliran.
Komentar
Posting Komentar