Merencanakan Kematian (Bagian II)
Bagian II — Kematian sebagai Risiko Operasional
Setiap sistem yang matang selalu mengakui satu hal: kegagalan bukan soal jika, melainkan kapan. Dalam dunia teknik, keuangan, dan manajemen, asumsi ini dianggap sehat. Anehnya, ketika prinsip yang sama diterapkan pada relasi manusia, ia langsung dicap sinis.
Padahal keluarga, pernikahan, dan pekerjaan adalah sistem.
Dan semua sistem memiliki single point of failure.
Kematian adalah kegagalan paling absolut.
Tidak bisa ditunda.
Tidak bisa dinegosiasikan.
Tidak bisa ditambal dengan niat baik.
Maka manusia yang berpikir jernih—meski enggan mengaku—akan memperlakukan kematian sebagai risiko operasional. Bukan karena ia tidak mencintai, tetapi karena ia memahami biaya kehancuran total.
Ketergantungan absolut terdengar romantis, namun secara struktural rapuh.
Satu orang memegang terlalu banyak fungsi: emosional, ekonomi, sosial, administratif. Ketika ia pergi, yang runtuh bukan hanya perasaan, tetapi seluruh mekanisme hidup.
Di sinilah banyak orang salah membaca realitas. Mereka mengira duka yang dalam adalah bukti cinta. Padahal sering kali itu hanya indikator desain sistem yang buruk. Terlalu banyak hal bergantung pada satu titik. Terlalu sedikit redundansi.
Orang yang “tidak siap kehilangan” sering kali bukan orang yang paling mencintai, tetapi orang yang paling malas mendistribusikan tanggung jawab hidupnya.
Pernikahan modern penuh dengan retorika kebersamaan total, namun miskin mitigasi risiko. Semua digabung: penghasilan, emosi, keputusan, makna hidup. Lalu kita heran mengapa satu kematian terasa seperti kiamat personal.
Dalam sistem yang sehat, kehilangan memang menyakitkan—tetapi tidak melumpuhkan.
Ada cadangan.
Ada penyangga.
Ada fungsi yang sudah dipisahkan dengan sadar.
Bukan karena hubungan itu dangkal, tetapi karena ia dirancang untuk bertahan.
Masyarakat tidak menyukai cara pandang ini karena ia merusak narasi heroik tentang cinta. Kita lebih suka percaya bahwa mencintai berarti menyerahkan diri sepenuhnya, bahkan jika itu berarti hancur bersama.
Padahal kehancuran bukan bentuk kesetiaan.
Ia hanya kegagalan membaca realitas.
Orang dewasa tidak hidup dengan asumsi semua akan baik-baik saja. Ia hidup dengan asumsi sesuatu akan rusak—dan ia menyiapkan struktur agar kerusakan itu tidak menjalar ke mana-mana.
Di titik ini, kematian kehilangan wajah mistisnya. Ia menjadi satu risiko di antara banyak risiko lain: sakit, kehilangan pekerjaan, pengkhianatan, waktu. Tidak lebih mulia. Tidak lebih jahat. Hanya lebih final.
Maka merencanakan hidup tanpa seseorang bukanlah pengkhianatan.
Ia adalah bentuk tanggung jawab paling sunyi.
Bukan kepada orang yang mungkin mati—
tetapi kepada diri yang harus tetap hidup.
Komentar
Posting Komentar